'Revisi UU ITE (Masih) Berpotensi Melanggar Kebebasan Berekspresi'
Hide Ads

'Revisi UU ITE (Masih) Berpotensi Melanggar Kebebasan Berekspresi'

Fino Yurio Kristo - detikInet
Kamis, 27 Okt 2016 15:47 WIB
Foto: Aditya Mardiastuti/detikcom
Jakarta - DPR dan pemerintah hari ini menyetujui perubahan sejumlah pasal dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun hasil perubahan itu dinilai masih jauh dari harapan sekaligus belum menjawab tantangan aktual dalam pemanfaatan teknologi internet.

"Revisi ini hanya bersifat tambal sulam (tactical), tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan pokok dari suatu undang-undang yang mengatur internet" kata peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat ELSAM, Wahyudi Djafar dalam keterangannya.

Menurut dia, revisi yang tambal sulam dan tidak menjawab persoalan pokok dari UU ITE ini nampak dari sejumlah materi yang disepakati, diantaranya:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(1) ambigunya rumusan yang mengatur mengenai konten internet, dengan sebatas pemberian kewenangan pemutusan akses bagi pemerintah;
(2) munculnya rumusan baru, seperti hak atas penghapusan informasi (right to be forgotten), tanpa dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai;
(3) persoalan dalam pengaturan pidana yang belum mampu meminimalisir pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression).

Dalam materi hasil revisi (Pasal 40) disisipkan materi baru mengenai kewenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap muatan/konten internet yang dilarang, termasuk memberikan perintah kepada internet service provider (ISP) untuk melakukan pemutusan.

Rumusan ini terkesan sebatas memberi legitimasi eksisnya Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif. Menurut Wahyudi, pemberian wewenang mutlak kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses juga secara politik berbahaya, mengingat besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Selain itu, rumusan ini juga jauh dari standar hak asasi manusia dalam pemutusan (blocking) konten internet, yang menghendaki adanya kejelasan batasan konten yang dapat dibatasi; prosedur pembatasannya, termasuk mekanisme pemulihannya, dan keharusan wewenangnya diserahkan kepada suatu badan yang independen, bebas dari kepentingan politik dan ekonomi.

Wahyudi menambahkan, ketentuan baru Pasal 2 terkait penghapusan informasi yang dinilai tidak relevan, jauh dari prinsip right to be forgotten. Selain harus melalui penetapan pengadilan, penghapusan data pribadi harus diselaraskan dengan persyaratan minimum penghapusan data yaitu: individu harus diberitahu mengenai tindakan penghapusan data yang dilakukan dan diberi kesempatan mengajukan keberatan terhadap keputusan penghapusan data.

Kemudian, penghapusan data pribadi harus dibatasi berdasarkan penentuan jenis-jenis data pribadi yang sah untuk dilakukan penghapusan, dan penyedia jasa yang terkait, otoritas publik dan pengadilan harus melakukan pelaporan secara terbuka (transparency) mengenai keputusan yang berkaitan dengan penghapusan atas informasi pribadi. Sejumlah pra-syarat tersebut tidak terlihat di dalam rumusan yang dihasilkan.

Ia juga mengkritik dihapusnya ketentuan pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE (Pasal 27 ayat (3), dan mengembalikan sepenuhnya kepada KUHP. Penurunan ancaman pidana penjara dari 6 tahun menjadi 4 tahun, dan pidana denda dari 1 milyar rupiah jadi 750 juta rupiah, tak menjawab permasalahan utama dari ketentuan Pasal 27 ayat (3). Masalah utama ketentuan ini terletak pada ketidakpastian hukum yang diciptakannya, mengingat di kesempatan yang sama warga negara juga diancam dengan aturan yang serupa di KUHP.

Wahyudi menilai pemerintah dan DPR belum mampu sepenuhnya mengintegrasikan berbagai komitmen dan prinsip hak asasi manusia di dalam materi UU ITE. Ia mengangggap respon yang diberikan sifatnya tambal sulam, tanpa menyentuh masalah pokoknya.

"Dengan revisi yang demikian, justru materi UU ITE nantinya, selain belum mampu mengurangi berbagai persoalan yang mengemuka hari ini, seperti kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah, juga sangat berpotensi memberikan ancaman kembali terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama hak atas informasi yang baru kita nikmati dalam beberapa tahun ini", pungkas Wahyudi Djafar. (fyk/ash)