'Frekuensi Harus Dikuasai Negara'
Hide Ads

'Frekuensi Harus Dikuasai Negara'

Adi Fida Rahman - detikInet
Sabtu, 27 Agu 2016 17:15 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Yogyakarta - Kisruh soal penurunan tarif interkoneksi tidak terlepas dari masalah penguasaan frekuensi oleh asing. Harusnya frekuensi telekomunikasi dikuasai oleh negara.

Hal tersebut ditegaskan oleh pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir. Menurutnya, frekuensi telekomunikasi adalah salah satu sumber daya terbatas. Bila mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, hal tersebut harusnya dikuasai oleh negara.

"Berdasarkan UUD 1945, sumber daya terbatas harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia," jelas Revrisond saat ditemui usai acara diskusi publik Strategi Membangun Infrastruktur Telekomunikasi Untuk Pemerataan Pembangunan dan Kemajuan Negeri di Ruang Multimedia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat sore (26/8/2016).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayangnya saat ini frekuensi didominasi oleh asing. Kondisi tersebut membuat negara sulit memaksa perusahaan telekomuniasi asing untuk melakukan kewajiban divestasi saham. Ini berbeda dengan industri pertambangan di mana dalam kontrak tertuang kewajiban melakukan divestasi saham oleh perusahaan asing.

Revrisond menyarankan ke depannya pemerintah baiknya mengembalikan peran negara dalam menguasai frekuensi telekomunikasi dengan pengelolaan langsung. Pengelolaannya sendiri bisa dilimpahkan ke perusahaan milik BUMN.


Tentu hal ini akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, salah satunya isu persaingan usaha. Namun dengan demikian pemerintah telah mematuhi mandat dari UUD 1945.

"Persaingan usaha itu hanya tertuang dalam UU. Sementara pengelolaan sumber daya terbatas merupakan amanat UUD 1945. Jadi yang masuk ranah persaingan usaha adalah hanya cabang-cabang produksi yang tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup masyarakat Indonesia," pungkasnya.

Seperti diketahui, saat ini hanya Telkomsel saja yang penguasaan negara cukup dominan. Sedangkan di Indosat Ooredoo, penguasaan negara hanya sebesar 14,29 %. Sementara di XL Axiata Tbk, penguasaan negara di perusahaan tersebut tidak ada sama sekali.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara didesak mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dinilai terlalu pro terhadap operator telekomunikasi asing yang beroperasi di Indonesia.

Desakan itu disampaikan oleh Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis terkait rencana pemerintah merevisi kebijakan biaya interkoneksi dan Revisi Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (PP No.52 Tahun 2000) serta Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (PP No.53 Tahun 2000).

"Janji pemerintah untuk membeli kembali Indosat belum terlaksana, Menkominfo malah akan menerapkan kebijakan yang berpotensi merugikan satu-satunya BUMN telekomunikasi di Indonesia yaitu Telkom dengan rencana kebijakan perhitungan biaya interkoneksi, network sharing, dan spectrum sharing," ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto.

Namun hal itu langsung dibantah oleh Kominfo. "Sebagai regulator, Kementerian Kominfo beserta BRTI selalu berprinsip kepada equal treatment kepada semua operator telekomunikasi," kata Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Noor Iza.

Dijelaskan oleh Noor Iza, begitu sebuah badan usaha secara formal dan legal menjadi operator maka posisinya adalah sama dalam perlakuan.

Dalam pengaturan telekomunikasi, kata dia, tidak dibedakan dan tidak mengenal dikotomi penyenggara asing. Karena, semua dinilai sama dalam tataran regulasi telekomunikasi.

"Ini berbeda dengan regulasi masalah investasi di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), yang mengenal hal itu. Prinsip equal treatment tersebut juga menjadi kesepahaman semua negara dan juga terjamin dalam WTO reference paper," lanjut Noor Iza.

Dalam tataran regulasi dan industrinya yang menjadi objek dan subjek regulasi, masih kata dia, adalah penyelenggaranya atau jenis layanan yang diselenggarakan. (mag/mag)