Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha mendesak pemerintah menggelar sidang kabinet untuk menentukan kebijakan pembangunan fasilitas regasifikasi gas alam cair (LNG) di Blok Masela, Maluku.
Yudha mengatakan DPR akan mengkritisi pembangunan fasilitas pengolahan tanpa analisis dampak yang jelas terhadap masyarakat, baik itu dilakukan di darat (
onshore) atau di lepas pantai (
offshore).
"Penentuan
onshore dan
offshore harus melalui sidang kabinet karena harus satu (suara), kan ini ada perbedaan," kata Satya usai mengisi diskusi bertajuk Gaduh Blok Masela di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (2/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mendukung pembangunan fasilitas pengolahan di darat sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said serta SKK Migas menginginkan pembangunan dilakukan di lepas pantai sesuai rencana pengembangan yang dibuat oleh Inpex Corporation.
"Kami di DPR tidak memilih posisi
onshore atau
offshore. Yang penting jangan sampai dikecewakan karena membelanjakan banyak dan mengurangi pendapatan negara dan berpengaruh ke kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Penentuan lokasi, menurut Satya harus melalui analisis yang utuh termasuk soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibelanjakan.
Rizal sebelumnya menyebut nilai investasi untuk
Floating LNG (FLNG) sekitar US$19,3 miliar sementara untuk
Land Based LNG hanya menghabiskan investasi US$14,8 miliar. Sementara itu SKK Migas mengatakan pembangunan fasilitas pengolahan darat justru membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan di laut.
"Ini haru dianalisis dengan baik karena menurut saya FLNG harganya bukan US$14,8 miliar tapi dananya bisa lebih besar. Kalau
onshore ditaruh pipa 600 kilometer juga dananya bengkak jadi US$21 miliar," ucapnya.
Satya mewanti-wanti adanya risiko membengkaknya biaya investasi lantaran perkembangan harga di dunia. "Jangan sampai kontrak murah tapi kemudian nanti negara pada posisi harus membayar
cost overrun. Itu bukan murah tapi mahal," katanya.
Ia juga menekankan potensi penuntutan perkara pidana dan tanggungjawab oleh masyarakat kepada pemerintah lantaran pengelolaan yang karut-marut. Bagaimana pun, negara tetap harus membayar proyek tersebut menggunakan duit rakyat melalui skema
cost recovery. Selain itu, Satya juga mengingatkan pada berbagai pihak soal penerimaan negara dari proyek tersebut.
"Tentunya semua secara terbuka masyarakat harus tahu karena misal negara akan terima US$57 miliar kalau pake FLNG dan proyeknya US$14,8 miliar nah kalau daratan dibutuhkan US$19,3 miliar dan pendapatan negara US$48 miliar. Ini seakan-akan negara dapat angka besar tapi sebenarnya itu dalam waktu 40 tahun karena kumulatif," katanya.
Terlebih, ia juga mempertimbangkan selesainya kontrak Inpex di waktu yang akan datang sementara fasilitas pengolahan belum juga diteken dan diproduksi.
Kontroversi pembangunan fasilitas pengolahan Blok Masela mencuat pada 2006 hingga kini. Usulan
offshore telah diinisiasi sejak 2009 oleh Inpex Corporation dan telah dimasukkan dalam rencana pengembangan. Terlebih, hasil kajian terakhir dari konsultan independen asal Amerika, Poten & Partners menunjukkan kecenderungan rekomendasi pembangunan kilang minyak dengn metode
offshore.
(gen/gen)