MK: Izin Pemeriksaan Anggota Dewan dari Presiden, Bukan MKD

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Selasa, 22 Sep 2015 17:00 WIB
MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.
MK menggelar sidang putusan terkait permohonan gugatan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3) di Jakarta, Selasa, 22 September 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi memutuskan pemberian izin untuk meminta keterangan anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana bukan lagi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan dari presiden.

Hakim Wahiduddin Adams mengatakan, ini bukan sesuatu yang baru. Sebab, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum telah diatur dalam beberapa undang-undang sebelumnya, seperti UU Mahkamah Konstitusi, UU Badan Pemeriksa Keuangan, dan UU Mahkamah Agung.

Oleh sebab itu, ia mengatakan mahkamah menilai pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari Mahkamah Kehormatan tidak tepat. Wahiduddin menekankan MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mahkamah juga berpendapat pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan. Sebab, ujar Wahiduddin, anggota MKD adalah dari dan oleh anggota dewan itu sendiri. Selain itu, ia menyebutkan putusan ini sebagai bentuk fungsi dan upaya membenarkan mekanisme check and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif.

"Sehingga mahkamah berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari mahkamah kehormatan dewan," ucap Wahiduddin di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9).

ADVERTISEMENT

Wahiduddin mengatakan, anggota yang dipanggil atau dimintai keterangan tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR. Mahkamah juga berpendapat persetujuan dari presiden harus diterbitkan dalam waktu singkat.

Putusan ini tak hanya berlaku untuk anggota DPR, tapi juga berlaku untuk anggota Majelis Permusyawartan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu, untuk pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari menteri dalam negeri. (Baca: DPR Siap Patuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Soal UU MD3)

Pemanggilan anggota DPRD kabupaten kota yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari gubernur setempat.

Oleh sebab itu, Hakim Arief Hidayat mengatakan frasa persetujuan tertulis pada pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

"Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden," ucap Arief.

Padahal sebelumnya, pasal 245 ayat 1 berbunyi,  pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Padahal sebelumnya, pasal 224 ayat 5 berbunyi,  pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3 dan 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

"Pasal 224 ayat 5 UU MD3 selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana maksud pada ayat 1,2,3,4 harus dapat persetujuan tertulis dari presiden," ucap Arief. (obs/obs)
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER